Cukuplah Lara, Tiba Waktunya Kau Tega

Posting Komentar
Kurang lebih enam bulan menjadi sebuah pembelajaran, sebab masa-masa itu telah saya lahap dengan kekhilafan. Menghabiskan masa yang seharusnya berguna, namun malah sebaliknya. Menyedihkan, tapi tak sanggup diucapkan.

Berbagai rasa bercampur aduk. Mau marah, nangis, capek, menyesal, tapi saya bersikeras untuk menutupinya dengan canda tawa. Ingin saja memutar kembali waktu agar saya mampu mengisinya dengan menuntaskan proyek-proyek dengan maksimal, namun sayangnya semesta tidak mengabulkan.

“Cukuplah lara, tiba waktunya kau tega” menjadi slogan yang harus tertanamkan dalam jiwa. Pahit, getir, dan tangis yang mewarnai di semester lima, membuat saya cukup sadar bahwa pada dasarnya mereka tega. Tega meninggalkan tanggung jawabnya yang belum usai, demi meraih karier yang tinggi semampai.

Andai, kala itu saya tidak trauma akan kekhilafan karib saya, saya akan terus memenuhi kuota SKS yang saya terima. Dengan begitu, tidak akan ada lagi celah yang dapat diisi dengan jatuh cinta, tidak tega, dan merana akibat project-project yang tak mampu dimaksimalkan. Begitulah penyesalan yang selalu menyapa di belakangan. Karena kalau menyapa di permulaan, namanya pendaftaran.

Kalau saya bisa menasihati Amelia pada kala itu, saya bakal meminta dia untuk fokus mengerjakan tugas-tugas kuliah. Karena kuliah itu prioritas. Amelia yang dulu bisa mengikuti organisasi, mengelilingi Tanjungpinang, dan merasakan pengalaman lain juga karena kuliah. Terlebih di semester lima yang project untuk semua mata kuliahnya adalah membuat aplikasi. Jadi, sayang rasanya kalau engga dieksplor hanya gara-gara menolong ketua yang tak mampu membimbing anggotanya dan sekretaris yang tak mengerti terima kasih sama sekali.

Saya akui bahwa saya sudah salah mindset selama satu setengah tahun. Semua itu berawal dari omongan seorang teman pria yang berkulit hitam manis saat saya di semester dua. Kala itu, ia menyindir saya di hadapan teman-temannya untuk harus mencari kelompok yang isinya orang-orang pintar. Mungkin omongan itu benar ya di matanya, karena dia adalah laki-laki dan teknik sendiri lebih dominan laki-laki. Jadi, saya pun engga menyalahkan opini dia sepenuhnya. Dia lebih mudah membaur dengan teman-teman laki-laki yang pintar dibandingkan saya yang perempuan.
Di sinilah pentingnya kita mengenal diri. Amelia pada saat itu masih belum mengenali dirinya seutuhnya. Sehingga, ia pun terbuai dengan omongan temannya itu. Dengan kepolosannya yang selama ini mencari kelompok sembarangan, dia pun akhirnya bersikeras untuk bisa sekelompok dengan orang-orang pintar. Apabila keinginannya tercapai, maka ia selalu bangga. Namun jika sebaliknya, ia akan gusar dan menggerutu sepanjang masa.

Kalau saja Amelia yang kemarin sudah mengenal siapa dirinya, mungkin dia akan lebih sadar diri. Sehingga, dia tidak akan tergiur dengan sindiran kawannya itu. Jangankan tergiur, sakit hati pun tidak karena ia sadar kalau ia adalah perempuan. Perempuan yang eloknya berkelompok dengan sesama perempuan. Dengan begitu, kami jadi saling bisa menguatkan.

Kalau saja Amelia yang kemarin sudah menerapkan self awareness, ia juga akan sadar bahwa level kepintarannya masih jauh dibandingkan dengan level teman-temannya yang sudah belajar IT duluan sebelum menduduki bangku perkuliahan. Dengan menyadari ini, maka Amelia yang dulu harusnya malu tuk bersikeras sekelompok dengan mereka yang jago.

Satu kelompok dengan orang jago memanglah nyaman, nilai dijamin aman selagi mereka diberi kesehatan. Namun, ini yang justru melenakan. Berdasarkan pengalaman, saya malah jadinya engga tahu apa-apa karena semuanya dikerjakan sama mereka. Saya mau bantu? Tapi saya sendiri pun engga tahu harus membantu dari mana. Kenapa engga tahu? Iya karena memang ilmunya belum sepadan.
Terlepas dari apapun penyesalan saya di semester lima, pada intinya saya hanya bisa menerima. Menerima bahwa itu sudah menjadi masa lalu, jadi engga perlu diratapi. Jadikan saja refleksi, tapi bukan untuk diratapi secara berkepanjangan. Karena waktu tetap terus berjalan, jadi masih ada waktu untuk memperbaiki supaya tidak jatuh di jurang yang sama untuk kedua kali. Sesuai dengan penjelasan bab tiga dalam buku Filosofi Teras yang intinya mengajarkan bahwa kalau kita ingin hidup yang baik, maka kita harus hidup selaras dengan alam. Karena segala sesuatu di alam ini saling berhubungan, termasuk segala peristiwa yang terjadi dalam hidup kita. Jadi, kita juga harus menerimanya, bukan malah menyesali, menangisi, atau menyumpah serapahi yang hanya berujung sia-sia.

Melalui tulisan ini, saya hanya ingin mengingatkan kepada saya pribadi bahwa pengalaman adalah guru yang terbaik. Tidak terkecuali pengalaman di semester lima yang saya abadikan di sini. Semoga tulisan ini juga dapat bermanfaat bagi kamu yang sedang membaca artikel ini. Tidak peduli apa pun latar belakangmu, yang penting kamu engga bergantung pada orang lain, kamu engga menyesali masa lalumu, dan kamu mampu mengenali diri kamu seutuhnya.

Related Posts

Posting Komentar