Mengenal Filosofi Teras Bersama Penulisnya Langsung

Posting Komentar
Setiap tanggal 20 Mei dikenang sebagai Hari Kebangkitan Nasional atau disingkat Harkitnas. Termasuk pada 20 Mei 2025 kemarin. Namun bagi saya sendiri, hari itu memiliki makna tambahan—yakni sebagai momen untuk membangkitkan kesehatan mental.

Seperti hujan yang tak bisa diprediksi, teman saya tiba-tiba mengajak saya untuk mengikuti acara bedah buku ini saat empat hari sebelum acara. Pas dilihat waktunya yang tidak bentrok dengan mata kuliah, saya pun langsung daftar di link yang sudah dituliskan. Apalagi saya memang sudah punya bukunya dan pernah menuliskan review-nya di postingan sebelumnya. “Bawa saja lah buku ini,” ucap saya dalam hati meskipun cover-nya sekarang sudah berganti.

Karena ini adalah bedah buku pertama yang saya ikuti, rasanya deg-degan tak karuan karena engga expect bakal ketemu langsung dengan Henry Manampiring, penulis buku Filosofi Teras yang sudah mega best seller dan sering saya baca ulang. Tidak menyangka lagi kalau kami bisa mendapatkan sarapan dan makan siang gratis, serta sepupu yang saya ajak pun bisa mendapatkan bukunya Om Piring secara gratis. Wah, acara sekeren ini, konsumsi sekeren ini, tapi pesertanya engga dikenakan biaya sama sekali. Alhamdulillah ala kulli hal.

Acara bedah buku Filosofi Teras diselenggarakan oleh Perpustakaan Bank Indonesia Kepri dan Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Kepri dalam rangka hari buku sedunia. Talkshow ini dipandu oleh moderator yang tak kalah inspiratif, dan menghadirkan langsung Om Piring—sapaan akrab untuk Henry Manampiring—sebagai narasumber utama. Dalam sesi yang padat namun singkat, beliau membahas isi buku ini secara menyeluruh, mulai dari latar belakang penulisan hingga inti ajaran stoisisme.

Mengapa Filosofi Teras?

Buku Filosofi Teras lahir dari pengalaman pribadi Om Piring yang pada tahun 2017 didiagnosis mengalami Major Depressive Disorder (MDD), sebuah istilah medis yang menggambarkan seseorang yang terkena gangguan mental berupa depresi mayor. Kondisi tersebut membuat beliau harus menjalani pengobatan rutin sebagaimana pasien penyakit fisik lainnya.

Namun, suatu hari ketika sedang berjalan di toko buku, ia menemukan buku mengenai stoicism yang ditulis dalam bahasa Inggris. Ia mulai menerapkan prinsip-prinsip tersebut dalam kehidupan sehari-harinya, dan merasakan perubahan positif. Karena pada saat itu belum ada buku tentang stoicism yang ditulis dalam bahasa Indonesia, Om Piring akhirnya berinisiatif untuk menuliskan buku tersebut dengan menambahkan pengalamannya sendiri. Siapa sangka, buku tersebut kemudian menjadi popular dan memenangkan Book of The Year di Indonesia International Book Fair 2019.

Di acara bedah buku ini, Henry juga membahas stigma seputar filsafat yang sering dianggap berat atau bertentangan dengan ajaran agama. Padahal menurut beliau, agama dan filsafat itu sejalan dan saling melengkapi. Keduanya mengajarkan kebaikan. Bedanya, agama berpijak pada kitab suci, sedangkan filsafat berdasar pada pemikiran logis. Inilah mengapa meskipun topiknya berat, Filosofi Teras disampaikan dengan bahasa yang ringan, relevan, dan mudah dipahami oleh pembaca awam.

Mengenali Dikotomi Kendali dengan Perumpamaan Hujan dan Payung

Salah satu bagian menarik dari bedah buku ini adalah pembahasan tentang Dikotomi Kendali, sebuah konsep inti dalam stoisisme.

Om Piring mengilustrasikan konsep ini dengan perumpamaan hujan dan payung. Hujan adalah hal di luar kendali kita, sedangkan payung adalah representasi dari respons kita terhadap kondisi tersebut. Saat hujan turun, kita hanya bisa memilih mau membuka payung atau tidak. Begitu pula dalam hidup, banyak hal terjadi di luar kendali kita, tapi kita masih bisa mengatur bagaimana cara kita meresponsnya.

Dengan memahami konsep ini, kita menjadi lebih sadar bahwa kebahagiaan berasal dari dalam diri, bukan dari orang lain. Termasuk ketika menghadapi komentar negatif netizen. Kita memang tidak bisa mengendalikan ucapannya, tapi kita bisa mengatur bagaimana respons kita terhadap komentar tersebut. 


Perkara Overthinking yang Selalu Membuat Pusing Tujuh Keliling

Siapa di sini yang sering overthinking?

Saya akui, saya adalah salah satu manusia yang sering overthinking. Terlebih sejak covid-19 melanda pada lima tahun silam. Semuanya berubah sejak saat itu, tidak terkecuali kondisi keluarga saya.

Sejak saat itu, pandangan saya terhadap hidup kian menyempit. Pikiran saya dipenuhi kecemasan atas hal-hal yang bahkan belum tentu terjadi. Hari demi hari, saya merasa hampa dan terus membandingkan diri dengan orang lain.

Namun, salah satu hal yang paling membekas dari acara bedah buku kemarin adalah ketika Om Piring menawarkan solusi praktis untuk mengatasi overthinking. Meskipun kita sudah memahami bahwa masa depan dan komentar orang lain berada di luar kendali kita, tapi terkadang itu kurang mempan bagi dia. Oleh karena itu, cara yang paling ampuh untuk mengatasi overthinking menurut beliau adalah under doing. Istilah ini diambil dari antonimnya overthinking.


Solusi ini bukan sekadar teori, tapi praktik nyata. Caranya adalah dengan melatih diri untuk mindfulness, yaitu hadir sepenuhnya di saat ini dan fokus pada hal-hal yang sedang kita kerjakan. Dengan mengisi waktu kita untuk doing, kita malahan tidak punya ruang untuk terus-menerus overthinking terhadap hal-hal yang tidak bisa kita kontrol.

Penutup

Meskipun stoisisme berasal dari zaman Yunani kuno, tapi ajarannya masih tetap relevan hingga hari ini. Apalagi dalam menghadapi tekanan dan tantangan zaman modern. Oleh karena itu, semoga acara bedah buku kemarin bisa menjadi reminder bagi saya untuk lebih banyak doing dan berhenti larut dalam overthinking

Semoga rangkuman ini bisa bermanfaat, baik bagi saya pribadi maupun bagi kamu yang sedang mencari cara untuk berdamai dengan pikiranmu sendiri, ya!
Terbaru Lebih lama

Related Posts

Posting Komentar