Bangkit dari Kegagalan Melalui Pengalaman Dua Bulan yang Mengesankan

Posting Komentar
“Ternyata begini ya dunia kerja”
Sebuah kalimat yang pastinya dilontarkan oleh anak kecil yang baru pertama kali menyelami dunia kerja. Tidak dipungkiri, awalnya pasti merasa engga enak karena harus beradaptasi dengan dunia baru yang belum pernah tergambarkan sebelumnya. Dan memang benar, fakta di lapangan ternyata sesuai dugaan. Sebagai tempat yang pertama kali menerima anak magang dari jurusan Teknik Informatika, anggapan remeh bagi sebagian orang awam tentang jurusan ini memang benar adanya.

Sedih rasanya tuk dibayangkan, sampai-sampai tak terhitung lagi berapa banyak kertas yang sudah dihabiskan untuk bercerita. Mulai dari mereka yang main lempar-lemparan tatkala ditanya untuk analisis kebutuhan, ada juga yang playing victim padahal usia dan pendidikannya sudah lebih jauh, ada juga yang memandang sebelah mata karena perempuan dan saat itu sedang sendirian karena teman satunya lagi sedang melewati masa pemulihan, sampai diminta sama pembimbing lapangan untuk menyelesaikan project dalam waktu dua minggu.


Itu baru kegundahan di dunia kerja, belum lagi dunia kampus yang saat itu sedang bergoncangan akibat lokasi KP dan KKN saling berjauhan. Lebih sakitnya lagi adalah harus menghadapi kabar duka dalam waktu yang bersamaaan dengan itu semua.
Kalau dipikir-pikir, kala itu menjadi musibah bagi anak yang sedang menginjak dewasa. Tapi, saat sedang menuliskan artikel ini, saya sadar dengan salah satu quotes dari buku Filosofi Teras.
“Setiap hari kita akan berhadapan dengan perilaku orang lain yang menyebalkan” - halaman 32
Kondisi tersebut membuat saya menjadi ingat tentang resilience yang pernah disampaikan oleh Rica Asrosa dalam webinarnya Gritty. Resilience bukan hanya soal bertahan, tetapi juga bertumbuh di bawah tekanan.

Mengenal Resilience

Resilience merupakan sebuah kemampuan untuk bangkit kembali (bounce back) dari kegagalan atau perubahan hidup, sambil tetap bergerak maju dengan tujuan yang jelas. Entah apa jadinya Amelia pada saat itu kalau nyerah duluan karena melihat problematika-problematika di atas. Terima kasih Makde yang sudah menyemangati bocah yang sempat pesimis ini melalui kisah hidupnya yang menurut saya jauh lebih menantang.

4C’s Mental Toughness

Clough dan Strycharczyk dalam bukunya yang berjudul “Developing Mental Toughness” mengemas konsep ini dalam model 4C’s Mental Toughness. Paul Lyons menjelaskan konsep tersebut dalam poin-poin berikut.

1. Control

Sejauh mana kita mampu mengendalikan diri dan emosi. Semakin bisa mengendalikan diri dan emosi, maka semakin kuat juga rasa percaya dirinya.

Orang yang memiliki kontrol yang tinggi, biasanya lebih tenang, nggak gampang panik, dan nggak gampang ikut-ikutan emosi orang lain. Sebaliknya, orang yang memiliki kontrol yang rendah cenderung merasa hidupnya dikendalikan oleh keadaan, bukan dirinya sendiri.

Berdasarkan kondisi selama dua bulan kemarin, saya sadar bahwa seluruh problematika tersebut terjadi di luar kendali saya. Daripada menyalahkan kondisi yang ada, lebih baik saya fokus sama tugas yang sudah diamanahkan. Alhamdulillah, semua dapat dituntaskan dengan baik. Alhamdulillah juga, meskipun masih ada yang memandang sebelah mata, tapi masih ada juga yang menerima kami secara terbuka. Terima kasih Ya Allah.
 
Langkah yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kemampuan ini adalah dengan journaling setiap hari untuk melatih self-awareness, fokus pada hal-hal yang bisa dikontrol dan lepaskan hal-hal yang berada di luar kendali, serta menggunakan teknik breathing exercise sebelum mengambil keputusan penting.

2. Challenge

Kemampuan melihat tantangan sebagai peluang untuk tumbuh, bukan sebagai ancaman atau pilihan untuk main aman. Jadi ingat bagaimana menantangnya saya pada saat membuat aplikasi untuk project kerja praktik kemarin. Meskipun menantang, tapi saya tetap terus mengerjakannya karena saya tahu aplikasi ini dapat berguna bagi mereka.

3. Commitment

Konsistensi dan ketekunan dalam mencapai tujuan. Orang yang memiliki komitmen yang tinggi, maka ia mampu menetapkan tujuan dan target secara efektif. Sebaliknya, orang yang memiliki komitmen yang rendah, maka ia akan merasa kesulitan dalam menetapkan tujuan dan gampang terdistraksi.

Saya juga ingat bagaimana konsistennya saya pada waktu itu untuk menyelesaikan project magang. Karena aplikasinya cukup kompleks, setiap hari saya membuat target minimal ada satu fitur yang dapat saya tuntaskan. Jadi, meskipun selama di kantor seharian hanya dapat error-nya saja, saya tetap menyelesaikan fitur tersebut di luar jam kantor walaupun sampai harus mengambil jam tidur saya.

4. Confidence

Keyakinan bahwa kita mampu menyelesaikan tugas dengan berhasil. Orang yang memiliki kemampuan confidence yang rendah, maka ia akan gampang goyah dan membutuhkan banyak validasi dari luar. Strategi praktis yang dapat diterapkan adalah menggunakan self-affirmations setiap pagi untuk membangun rasa percaya diri, review pencapaian masa lalu untuk mengingat bukti kemampuan diri, dan memperbanyak latihan untuk memperkuat rasa percaya diri.



Self-Compassion

Selain growth mindset dan mental toughness, ternyata ada satu ilmu baru yang saya peroleh pada saat webinar kemarin, yaitu self-compassion.
 
Banyak dari kita ingin hasil yang sempurna, takut gagal, dan akhirnya mudah hancur saat kenyataan tidak sesuai harapan. Padahal, kunci resilience justru dimulai dari berbaik hati pada diri sendiri.

“Kamu engga perlu menunggu sempurna untuk melakukan sesuatu. Kamu harus menanamkan dalam mindset kalau apapun itu engga akan sempurna. Akan ada kesalahan, akan ada hal-hal di luar kontrol kamu yang akan terjadi. Jadi, jangan menyalahkan diri sendiri yang pada akhirnya bisa menimbulkan penyesalan sehingga dapat menurunkan rasa percaya diri kamu. Tapi, tanamkan dalam mindset kalau aku sudah melakukan maksimal yang aku bisa pada saat itu (saat membuat keputusan). Tapi aku masih ada ruang perbaikan. Jadi next time-nya, kalau aku melakukan sesuatu, aku harus apa?” Jawaban Kak Rica saat ada salah satu peserta yang memilih opsi menyalahkan diri sendiri sebagai respons ketika gagal.

Menurut Dr. Kristin Neff, self-compassion adalah bersikap baik pada diri sendiri saat gagal. Ada tiga komponen utama dalam self-compassion yang perlu diketahui, yaitu

1. Self-kindness

Mengganti kritik diri menjadi dukungan diri, seperti “Saya gagal lagi dan saya tau itu menyakitkan”

2. Common humanity

Menyadari semua orang juga pernah gagal, seperti “Tapi, saya engga sendiri. Semua orang juga pernah gagal, kok.”

3. Mindfulness

Menyadari emosi dengan jernih, seperti “Saya berhak untuk memberikan kesempatan kepada saya untuk belajar dan mencoba dengan usaha lebih keras dan cerdas lagi berikutnya.”

Dengan mempraktikkan self-compassion, setidaknya ini dapat mengurangi stress, membantu bangkit lebih cepat dari kegagalan, memunculkan motivasi sehat sehingga ketika kita melakukan sesuatu itu bukan karena takut gagal tapi karena ingin berkembang, dan yang paling keren adalah membuat kita lebih berempati kepada orang lain.

Penutup

Terima kasih dua bulan, yang telah mengajari kaki kecil itu berlarian di tengah hujan kemustahilan. Meskipun raganya harus dibasahi oleh air keraguan, tapi semesta masih menghadirkan insan yang meyakinkan. Meskipun telapaknya harus berdarah karena ditusuk oleh kedendaman yang tak pernah diminta, tapi pada akhirnya ia tetap bisa menuntaskannya walau jauh dari kata sempurna. Meskipun napasnya tersengal-sengal karena lelah melawan dinginnya angin perbandingan, tapi Allah ternyata lebih tahu daripada dirinya.


Terima kasih dua bulan, yang telah mengajarkan saya untuk menerapkan resilience. Ternyata, resilience bukan soal tidak pernah jatuh, tapi bagaimana kita bangkit, belajar, dan bertumbuh lebih kuat dari sebelumnya.

Referensi:
https://www.ambition.co.uk/blog/2017/02/the-4-cs-of-mental-toughness?source=google.com

Related Posts

Posting Komentar