Akankah AI Menggantikan Manusia? -

Posting Komentar
Teknologi semakin hari semakin canggih. Masih ingat dulu waktu sekolah, saya belajar dari guru, buku, dan internet yang sering disapa sebagai “mbah Google”. Namun sekarang, saya sudah bisa menemukan berbagai produk kecerdasan buatan untuk mencari jawaban apa saja yang saya mau. Mulai dari mengerjakan tugas sekolah atau kuliah sampai curhat tentang keseharian kita. Bahkan, Google pun telah mengembangkan teknologi AI sendiri, yaitu Gemini.

Tidak dimungkiri, teknologi tersebut akhirnya saya manfaatkan untuk membantu segala hal, termasuk menjadi guru les gratis bagi saya.

Apakah Keberadaan AI Dapat Menggantikan Manusia?

Melihat kemahirannya yang sudah mumpuni di segala bidang, saya sempat merasa minder. Pernah tiba-tiba kepikiran, 
“Ah, ngapain capek-capek belajar kalau ujung-ujungnya si AI ini sudah pintar. Semuanya tinggal tanya sama dia saja, kan?”
Meskipun saya terbantu oleh AI yang belum pernah meminta imbalan atas bantuannya, semua itu tidak akan bermakna apa-apa kalau saya masih tidak paham fondasi dari ilmu tersebut. Menurut saya, fondasi ilmu itu sangat penting. Dengan dasar yang kuat, kita menjadi punya alasan untuk melakukan kegiatan yang kita jalankan, meskipun terkadang masih banyak terbenturnya karena keterbatasan ilmu yang kita punya.

Fondasi tidak dibangun dalam waktu singkat, bukan seperti Bandung Bondowoso yang membangun seribu candi dalam satu malam. Proses membangun fondasi ilmu bisa memakan waktu bertahun-tahun. Maka dari itu, fondasi sebaiknya ditanamkan sejak dini supaya ingatannya bisa melekat sampai nanti.

Saya sepakat bahwa AI (Artificial Intelligence) atau kecerdasan buatan itu diibaratkan sebagai pisau. Ia hanyalah alat untuk memudahkan pekerjaan manusia, bukan untuk menggantikan keberadaan manusia. Karena itu, penting bagi kita untuk terus belajar supaya tidak terbunuh oleh kecanggihan AI yang terus berkembang.

Karena ketika melontarkan pertanyaan kepada AI, kita juga harus tahu seberapa banyak porsi jawaban yang harus diambil. Bukan malah plek ketiplek salin semua jawabannya tanpa kita pahami isi dalamnya. Saya sendiri sering menjadikan jawaban dari AI sebagai alat bantu untuk memperkuat pemahaman saya setelah membaca materi dari internet atau e-book. Sebab, tingkat akurasi AI pun belum tentu 100%, karena ia sendiri masih belajar. Sama seperti manusia yang sedang belajar, kesalahan dalam belajar itu wajar, bukan?

Jadi, untuk saat ini, jangan takut kalau misalnya peranmu bakal digantikan oleh AI. Teknologi itu belum dapat menggantikan peran manusia seutuhnya. Kita sebagai manusia tetap harus memperkaya diri kita sendiri dengan wawasan dan pengetahuan. Segala tindakan yang dilakukan juga harus dilandasi dengan ilmu. Karena semua ada ilmunya, meskipun AI semakin hari semakin pintar.

Salah satu cara untuk memperkuat fondasi ilmu adalah melalui pendidikan sejak dini. Bukan hal asing lagi jika daya ingat anak-anak lebih kuat dibandingkan orang dewasa. Selain daya ingat yang masih tajam, anak-anak juga belum terbebani tuntutan hidup yang kompleks layaknya orang dewasa. Bahkan ada peribahasa yang sangat populer, yaitu
“Belajar di waktu kecil bagai mengukir di atas batu, belajar sesudah dewasa bagai melukis di atas air”
Tentu, penerapannya tidak mudah. Ada banyak hal yang perlu dikorbankan mulai dari waktu, tenaga, biaya, dan sebagainya. Belum lagi godaan dari dunia maya yang terkadang sering menggoyahkan fokus. Namun, tetaplah percaya pada kutipan
"Bisa karena biasa"
Sebab, ilmu yang melekat dalam ingatan itu bermula dari proses yang dilakukan secara konsisten dan berulang-ulang.

Bagaimana Kehadiran AI dalam Membentuk Karakter Anak?

Selain memperkuat fondasi ilmu, pendidikan anak di usia dini (PAUD) juga berperan besar dalam membentuk karakter anak. Anak-anak yang memiliki nilai-nilai seperti budi pekerti, empati, dan kepedulian akan lebih siap menghadapi dunia yang semakin terdampak oleh perkembangan AI. Ini juga yang akan menjadi PR bagi saya yang InsyaAllah akan menjadi seorang Ibu nantinya.
Saya masih ingat, dulu setiap Senin sampai Jumat saya dimasukkan di PAUD dari pagi hingga sore. Ketika mama berangkat kerja, saya ditinggalkan di sana lalu dijemput sore harinya saat pulang kerja. Jika akhir pekan mama masih ada pekerjaan tambahan, saya dititipkan di day care. Jadi, meskipun waktu bersama orang tua tidak banyak, mama tetap berusaha memberikan tempat terbaik untuk anaknya. Banyak pengalaman yang saya peroleh selama berada di dua tempat itu sehingga secara tidak langsung juga turut membentuk karakter saya.

Mengingat hal itu, saya sangat berterima kasih atas perjuangan Mama yang telah memberikan kesempatan untuk menuntut ilmu sampai saat ini. Terlebih sekarang sedang berkecimpung dalam ilmu kecerdasan buatan. Meskipun rasanya memang tidak mudah, tapi dengan mempelajari ilmu ini membuat saya sadar akan pentingnya mengoptimalkan teknologi dengan bijak. Ini juga yang semakin membuat saya sadar kalau "semua ada ilmunya".
Karena itu, penguatan karakter di lingkungan rumah dan sekolah sangat penting sebagai bekal anak untuk menghadapi perkembangan AI. Meskipun tampak sepele, pendidikan karakter juga turut membentuk pola pikir yang akan mendorong seseorang untuk terus belajar hingga akhir hayat.

Last but not least, tulisan ini berawal dari nasihat yang ingin saya sampaikan kepada diri saya supaya tetap terus belajar walaupun di tengah gempuran AI. Kebetulan juga bulan ini tim OBS mengangkat topik tentang hubungan antara AI dan pendidikan anak. Semoga tulisan ini bisa bermanfaat, ya.

Terbaru Lebih lama

Related Posts

Posting Komentar